"Abdullah Bin Salul", Sang Munafik Yang disayang Oleh Rasulullah SAW
Alwaliyah | Sepanjang abad dan masa Rasulullah akan selalu dikenang sebagai simbol manusia yang memiliki aklhak mulia bagi manusia lainnya. Wajarlah jika dahulu seorang yang keras kepala seperti Umar Bin Khattab menerima islam sebagai petunjuk jalan hidupnya hingga akhirnya. Tidaklah heran jika memang Rasulullah ini sering disebut-sebut oleh umatnya sepanjang masa akan akhlak mulia yang dimiliki olehnya.
Beliau dikenal sangat bersosial terhadap sesamanya, baik yang tua, muda, yang sebaya bahkan anak kecil. Kasih sayang dan kesetaraan cintanya kepada umat tidaklah melebih-lebihkan satu diantara satu yang lainnya, bakan hingga orang kafir sekalipun beliau tidak pernah kasar, marah, benci, dendam dan menghina mereka. Termasuk salah satu diantara bahagian ini adalah dia yang telah lama membenci nabi dan menjadi seorang munafik tulen hingga akhir hayat, beliaulah sang munafik yang disayang oleh nabi bernamakan Abdullah bin Ubay Salul.
Sikap baik dan sosial beliau terhadap diri Abdullah juga sama seperti halnya dengan yang lain. Bahkan hingga akhir ia hidup nabi pun masih berbuat baik kepadanya. Kedua hubungan Nabi dengan Abdullah bin Ubay memiliki tali merah yang sangat erat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah :
A. Abdullah bin Ubay Salul adalah salah seorang manusia yang banyak menimbulkan asbabun nuzul ayat al-Quran. Salah satunya adalah surat At-Taubah ayat 80 dan 84 yang mengkisahkan tentang sisi kemunafikan seseorang. Selain itu Surat Al-Baqarah : 8, jugalah merujuk pada dirinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Syeikh Abdur Rauf As-Sinkili dalam kitab Tafsirnya "Turjuman Al-Mustafid".
B. Abdullah bin Ubay adalah simbol bakti anak kepada ayah. Hal ini terlihat pada anak beliau yang bernama Abdullah bin Abdullah yang begitu setia dan sayang kepada ayahnya. Sehingga nabi menyuruh Abdullah bin Abdullah untuk berbakti kepada dirinya sampai ia mati. Bahkan Saat Abdullah bin Salul wafat anaknya pernah meminta baju baginda untuk menjadi kain kafannya dan nabi pun memberikan kepada dirinya.
C. Sikap Nabi kepada Abdullah bin Salul menjadi kesan dimana sifat kesosialan kemanusiaan beliau juga terlihat. bahwa sesunggunya nabi tidak pernah memilah-milah pihak kesosialannya kepada sebahagian orang saja.
Inilah 3 alasan mengapa Abdullah bin Salul mendapat perhatian khusus dimata baginda Rasulullah untuknya walaupun ia adalah seorang yang munafik.
Dalam riwayat lain menyebutkan menceritakan bahwa al-Qur’an berkali-kali menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan perbuatannya yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang menimpa Ummul Mukminin “Aisyah” ra al Qur’an mengisyaratkan Abdullah bin Ubay sebagai pembesar yang mengendalikannya.
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah kepala suku Khazraj. Setelah perang Bu’ats, kedua suku yang bertikai [ Aus dan Khazraj ] merasa mereka harus bersatu. Untuk itu mereka sepakat memilih salah seorang diantara mereka sebagai Raja.
Dan meski suku Khazraj mengalami kekalahan, tapi baik suku Aus maupun Khazraj sepakat memilih Abdullah bin Ubay untuk diangkat jadi Raja mereka. Mengingat kedudukannya yang mulia dan pandangannya yang luas. Kesepakatan ini tentu membawa implikasi yang besar manakala ternyata dikemudian hari, hal itu menjadi gagal.
Meski saat itu penduduk Yastrib telah mempersiapkan diri mereka, untuk melebur menjadi satu. Mereka bersepakat melupakan masa lalu yang kelam dan siap memulai hidup baru dengan saling bergandeng tangan. Bersama sama menghadapi dominasi Yahudi yang amat merugikan mereka.
Namun takdir Allah jualah yang terjadi. Belum sempat penobatan itu terlaksana, terjadi perubahan yang amat cepat, Yang tak seorang pun mampu menduga. Yang kesemuanya itu bermula ketika enam orang Yastrib berangkat haji ke Mekah. Dan disana mereka ditemui Rasulullah.
Mereka adalah :
Abu Umamah As’ad bin Zurarah bin ‘Adas, dari bani An Najjr
Auf bin Harits bin Rafa’ah (‘Auf bin ‘Ufara’), dari bani An Najjr
Rafi’ bin Malik bin ‘Ajlan, dari bani Zuraiq
Quthbah bin ‘Amir bin Hadidah, dari bani Slamah
Uthbah bin ‘Amir bin Nabii dari bani Ubaid bin Ka’b
Jabir bin Abddulllah bin Ri’ab, dari bani Ubaid bn Ghanm
Setelah Muhammad bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka saling berpandang-pandangan.
“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi,kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita.” Seruan Muhammad mereka sambut dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata mereka:
Dan dari 6 orang inilah kemudian berita tentang Islam dan Nabi Muhammad merebak tak tertahankan di Yastrib. Saat itu, berita tentang Nabi, lebih memberi harapan bagi penduduk Yastrib ketimbang mengangkat Abdullah bin Ubay menjadi Raja mereka.
Pemikiran seperti itu bukan tanpa sebab. Karena mereka baru saja mengenal Muhammad, meski kakek Muhammad, Abdul Muththalib berasal dari bani An Najjr, Tetap ide tentang Nabi Baru sesungguhnya datang dari orang orang Yahudi itu.
Orang-orang Yahudi sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma sangat mencela tetangga-tetangga mereka [ suku Auss dan Khazraj ] yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan kepada Tuhan. Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang Nabi yang akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Orang orang Yahudi beranggapan, bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa lain memegang kedudukan ini. Disamping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang lain menganut agamanya dan merekapun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga Israil.
“Sekarang akan ada seorang Nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang ‘Ad dan Iram.”
Kepercayaan tentang datangnya Nabi baru itu sungguh menambah ciut hati penduduk Yastrib. Tak terbayang dalam benak mereka bilamana hal itu betul terjadi. Itulah sebabnya ketika Abu Umamah, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin ‘Amir, Uthbah bin ‘Amir dan Jabir bin Abddulllah bertemu dengan Muhammad dan setelah Muhammad bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid kepada Allah, satu sama lain mereka saling berpandang-pandangan.
“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi,kepada kita,” kata mereka. “Jangan sampai mereka mendahului kita”.
Kelelahan penduduk Yastrib akan perang demi perang antar mereka serta kehausan akan iman yang sebenarnya, mendorong mereka menjadi terbuka terhadap sosok Muhammad. Begitulah akhirnya Muhammad diterima dengan gembira dan suka cita. Dan seluruh penduduk Yastribmenerima Islam sebagai agama baru mereka, meniggalkan kepercayaan terhadap berhala. Namun Abdullah tak kunjung mau menerima kehadiran Rasulullah dengan ikhlas. Iman masih belum mau mengetuk pintu hatinya. Meski ia sudah bersyahadat, namun ia belum ikhlas lahir batin. Sakit hatinya menutupi jalan jalan kebenaran. Ia masih menyimpan dendam. Dalam hatinya ia masih bertahan pada ajaran nenek moyangnya. Menyembah berhala.
Andai saja Abdullah bin Ubay menyadari bahwa Rasulullah SAW memang lebih utama darinya. Andai saja kemudian ia mengakui keutamaan Rasulullah SAW, dan cukuplah ia menjadi orang nomor dua. Karena sebelumnya kemuliaannya memang sangat diakui. Kebaikannnya tak diragukan. Tapi karena ia tidak ikhlas dengan keberadaan dan keutamaan Rasulullah, ia tetap merasa sakit hati.
Ia seakan menutup hatinya. Ia dendam pada Rasulullah. Sehingga tanpa sadar, ia lama kelamaan menjadi musuh dalam selimut bagi Rasulullah SAW. Abdullah bin Ubay berubah menjadi seorang pengkhianat. Ia duri dalam daging. Menjadi pemimpin orang orang munafik.
Berkali-kali Al Quran menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan perbuatannya yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah ra Al Quran mengisyaratkan Abdullah bin Ubay sebagai pembesar yang mengendalikannya.
Abdullah bin Ubay mengumpulkan orang-orang disekelilingnya untuk dijadikan pengikut pengikutnya. Segala sesuatu telah disiapkan sehingga sewaktu waktu siap sedia merebut kekuasaan. Rencana itu akan mereka laksanakan bilamana Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi. Usaha mereka yang pertama adalah berpura pura masuk Islam, namun diam diam berusaha menggembosi Islam dengan berbagai cara.
Sikap Rasulullah, SAW terhadap golongan munafik ini adalah teramat lunak sekali, tidak seperti halnya sikap terhadap orang Yahudi. Beliau selalu berusaha memberikan pengajaran-pengajaran terhadap mereka dengan penuh harapan supaya mereka pada suatu ketika insyaf dan beriman dengan iman yang sebenar-benarnya.
Seorang sahabat kala itu mengatakan, “Ya Rasulullah lapangkan hatimu kepada Abdullah bin Ubay.. Sungguh Abdullah bin Ubay itu adalah orang yang sakit hati. Sebelum engkau menjelang datang ke Madinah, kaumnya telah bersepakat mengangkatnya menjadi raja. Sudah menyiapkan tahta dan singgasananya. Tapi kemudian engkau hadir ya Rasulullah. Lalu kaumnya batal mengangkatnya jadi raja. Maka betapa sakit hatinya ia karena kedatanganmu ya Rasulullah…”
Ketika semua penduduk Yastrib memeluk Islam, tak terkecuali istri dan anak anak Abdullah bin Ubay sendiri. Salah satu anaknya yang juga bernama Abdullah, yakni Abdullah bin Abdullah Beruntunglah, sang anak Abdullah bin Abdullah adalah anak yang shaleh. Imannya telah merasuk kedalam tulang sumsumnya. Meski ia tahu ayahnya Abdullah bin Ubay berubah menjadi pengkhiat, menjadi seorang munafik. Bagaimanapun juga, Abdullah adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya, dan itu telah lama terbentuk sebelum Islam memasuki kota Madinah. Anak tetaplah anak,
Ketika Rasulullah SAW mendengar pimpinan Banu Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhirar menghimpun pasukan untuk memerangi kaum muslimin, Beliau menyusun pasukan dan segera berangkat ke tempat Banu Musthaliq. Dalam pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi ini ikut juga sekelo mpok kaum munafik, termasuk pimpinannya, Abdullah bin Ubay.
Setelah pertempuran usai dan dalam perjalanan kembali ke Madinah, Abdullah bin Ubay berkata pada kelompoknya, “Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang terhormat akan mengusir orang-orang yang terhina.”
Ucapan “terhina” ini dimaksudkan pada Rasulullah SAW dan sahabat Muhajirin yang terusir dari Makkah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW lewat sahabat Zaid bin Arqam, Umar bin Khaththab meminta Nabi menyuruh Abbad bin Bisyr untuk membunuh tokoh munafik tersebut. Tetapi Abdullah bin Ubay mengingkari kalau telah mengatakan itu, sehingga terjadi suasana yang tegang dan penuh prasangka, sampai akhirnya turun Ayat yang membenarkan Zaid bin Arqam.
Dalam beberapa versi disebutkan Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Rasulullah kupenggal saja orang yang mengatakan ‘Akan kukeluarkan orang hina itu (orang mukmin) dari Madinah’ “
“Tidak wahai Umar. Nanti apa kata orang bahwa Muhammad membunuh sahabatnya. Demi Allah tidak.”
Abdullah bin Abdullah mendengar selentingan dari orang Madinah “Tunggu saja nanti Abdullah bin Ubay itu akan dipenggal oleh Nabi.”
Menghadaplah Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. kepada Rasulullah SAW,
“Ya Rasulullah aku mendengar kabar engkau hendak membunuh ayahku. Benarkah demikian?
Demi Allah ya Rosulullah, jika engkau hendak membunuh ayahku, jangan kirim seorang sahabatmu untuk membunuh ayahku ya Rosulullah.. aku mencintainya… aku cintai ayahku…, karena demi Allah orang Madinah tahu aku seorang yang paling berbakti kepada orang tuaku. Demi Allah kalau sampai ada yang membunuh ayahku, aku khawatir aku tidak bisa bersabar untuk tidak menuntut balas. aku pasti akan dendam. Dan pasti aku akan membalas dendamku dan pasti aku akan membunuh seorang mukmin yang dengan itu aku menjadi kafir ya Rasulullah.. Demi Allah aku tidak ingin itu terjadi…
Tetapi jika engkau memang ingin membunuh ayahku ya Rasulullah. utus aku… utus aku sendiri… Betapapun aku mencintai ayahku.. tapi Allah dan Rasul-Nya lebih layak aku cintai daripada ayahku sendiri…” Hati Rasulullah SAW jatuh mendengar permintaan yang menyedihkan itu. Beliau menjawab, “Baiklah, berbaktilah kepada orang tuamu, ia tidak melihat darimu kecuali kebaikan.”
Tahulah Abdullah bin Abdullah bahwa Rasulullah memaafkan ayahnya.
Namun demikian, sebagai wujud kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya, Abdullah melarang ayahnya masuk kota Yastrib kecuali jika Rasulullah SAW telah mengijinkannya. Abdullah bin Abdullah menghadangnya dengan pedang terhunus, Ketika sang ayah mencoba memaksa, Abdullah bin Abdullah menyerangnya dengan pedangnya itu sehingga ia mundur kembali. Dengan terpaksa ayahnya mengirim utusan untuk meminta ijin Rasulullah SAW bagi tokoh munafik tersebut memasuki kota Yastrib
Sepulang Rasulullah saw dari perang Tabuk, di akhir bulan Syawal, Abdullah bin Ubay menderita sakit. Mendengar Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Usamah bin Zaid bercerita: “Saya bersama Rasulullah saw mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sakit untuk membesuknya. Rasulullah saw mengingatkan Abdullah bin Ubay “Bukankah saya sudah melarang kamu dari dahulu agar tidak mencintai orang-orang Yahudi?” Abdullah bin Ubay menjawab sekenanya, “Dulu Sa’d bin Zurarah membenci orang-orang Yahudi, kemudian Sa’d bin Zurarah mati.
Rasulullah saw tidak kehilangan sisi kemanusiaan yang bermartabat meskipun kepada orang yang sering Rasulullah ketahui dari Allah SWT sebagai pembuat masalah dan fitnah di dalam barisan kaum Muslimin. Secara zahir Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia berhak mendapatkan hak keIslaman itu dengan dibesuk ketika sakit. Pada bulan kerikutnya, bulan Dzulqa’dah Abdullah bin Ubay wafat. Kesedihan merasuki hati Abdullah bin Abdullah. Ia tahu bahwa orang tuanya itu mungkin hanya pantas berada di neraka, namun demikian ia ingin menunjukkan bakti terakhirnya. Dan anak yang berbakti ini… amat sedih tatkala ayahnya meninggal masih dalam kemunafikannya dan belum bertaubat. Menangis ia menghadap Rasulullah SAW,
Abdullah bin Abdullah datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu baju gamis Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi Abdullah bin Ubay, ayahnya. Dan Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan memberikan kainnya kepada Abdullah bin Abdullah untuk menjadi kafan bagi jenazah ayahnya.
Kemudian Abdullah bin Abdullah berkata lagi :
“Ya Rasulullah tidak ada yang bisa menyelamatkan ayahku kecuali doa yang engkau panjatkan. Datang dan sholatkan ia ya Rasulullah …”
Berdiri Rasulullah hendak berangkat tapi kemudian dihadang oleh Umar, “ya Rasulullah, Allah melarang engkau mensholati mereka”
Dibacalah surah At Taubah Ayat 80 :
…….. اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). ”
Berkata Umar “ Ya Rasulullah, Allah melarangmu memohonkan ampun mereka. Ia memfitnah Aisyah berzina, ia mengatakan akan mengeluarkan orang mukmin dari Madinah [ peristiwa perang Al Ahzab ]. Ia membuat fitnah. Ia memisahkan diri dari perang. Ia memecah belah kaum muslimin”.
“Tidakkah engkau dengar wahai Umar? Tuhanku memberikan pilihan bagiku.. ‘engkau mohonkan ampun atau tidak engkau mohonkan ampun sama saja.’ maka aku akan memilih memohonkan ampun wahai Umar…”
Lalu turunlah surah At Taubah Ayat 80 (lanjutan) :
لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.
Rasulullah SAW berkata,
“Maka hai Umar aku akan mohonkan ampun untuknya 70 kali ditambah 70 kali ditambah 70 kali.”
Ketika itu Umar berundur sambil gemetar…
kata Umar,“Betapa lancangnya aku pada Rasulullah… Betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW…. Betapa bening dan jernih sikapnya atas perintah Allah SWT…”
kemudian Rasulullah SAW mensholatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, barulah kemudian turun keputusan dari Allah dalam Surat At Taubah Ayat 84 :
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik
Inilah kisah Abdullah bin Salul yang menakjubkan, walaupun ia dinilah sebagai ahli neraka karena sifat kemunafikannya namun beliau menjadi salah seorang musuh Allah yang mendapat perhatian khusus dari Rasulullah. Ada hikmah yang dapat kita ambilkan dari kisah Abdullah disini, salah satunya ia adalah ikon atau simbol penting sebagai ayah yang walaupun ia ahli neraka namun nabi menyuruh anaknya untuk tetap patuh kepada Abdullah bin Salul.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Sumber :
Tgk Habibie S.TH dengan berbagai sumber
"Abdullah Bin Salul", Sang Munafik Yang disayang Oleh Rasulullah SAW
Reviewed by Unknown
on
7:10 PM
Rating:

No comments: