Apakah Al-Qur'an dan Hadist menganjurkan Ijtihad (Menggali Hukum Islam) ?
Alwaliyah | Kata "Ijtihad" tidak lepas
saat masa Para Imam Mazhab muncul. Pada masa ini banyak hukum-hukum baru yang
bermunculan yang akhirnya diselesaikan oleh para imam mazhab. Penggalian Hukum
Islam Yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadist dan pendapat Sahabat Mengenai
penggalian hukum di zaman Nabi Besar Muhammad SAW dapat dilihat kepada dua
macam periode:
Pertama :
Periode sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah. Yakni
sejak dari permulaan turun wahyu kepada Baginda hingga sampai pada waktu
hijrahnya. Masa ini meliputi lebih kurang 13 tahun. Dalam periode ini sangat
sedikit hukum-hukum yang merupakan syari’at Islam, seperti shalat, zakat yang
masih belum begitu ada pembatasannya, puasa pada sebagian hari, dan lain-lain.
Sebab dalam periode ini lebih dititikberatkan kepada menghimbau manusia kepada
rukun-rukun iman, di samping menunjuki mereka kepada akhlak dan pribadi yang
mulia.
Ayat-ayat yang turun dalam periode ini disebutkan
dengan ayat-ayat Makkiyyah dan jumlahnya lebih kurang 2/3 Al-Qur’an.
Kedua :
Periode sesudah hijrah Nabi SAW ke Madinah dimana
masanya lebih kurang 10 tahun. Barulah setelah Nabi berada di Madinah
umat manusia yang beriman kepada Allah sudah membutuhkan hukum-hukum keagamaan
dan nilainya yang mengatur kemasyarakatan dalam arti yang luas. Masalahnya
karena di Madinah Nabi Muhammad SAW sudah mulai membentuk kenegaraan dengan
organisasinya. Itulah sebabnya maka ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak
dititikberatkan kepada hukum-hukum keagamaan dalam arti yang luas dan ayat-ayat
untuk itu jumlahnya lebih kurang 1/3 Al-Qur’an.
Sumber-Sumber Hukum Islam Sekarang Ini
Sumber-sumber hukum Islam di zaman Nabi Muhammad
SAW baik periode sebelum hijrah dan sesudahnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.
Sunnah dan Hadits beliau berupa perkataanya, perbuatannya dan taqrirnya. Sebab
sunnah dan hadits beliau pada hakikatnya merupakan wahyu yang tidak tertulis.
Karena itu hal keadaan ini bukan hanya saja pedoman bagi beliau sendiri, tetapi
juga bagi para sahabatnya. Inilah yang dimaksud dengan ayat 44 surat An-Naml :
Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam
istana". Maka tatkala Dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. berkatalah Sulaiman:
"Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". berkatalah
Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku
dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam".
Ayat di atas menyatakan, bahwa
Nabi Muhammad adalah yang berhak mengungkapkan kepada umat manusia pengertian
Kitab Suci Al-Qur’an supaya manusia itu dapat berpikir selanjutnya. Dengan
demikian, maka terhindarlah perbedaan paham di kalangan manusia dengan kembali
kepada petunjuk dan rahmat Allah buat orang-orang yang beriman. (Lihat ayat 64
surat An-Nahl).
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu
Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.”
Sumber hukum yang ketiga di zaman Nabi ialah,
syari’at Nabi sebelumnya selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama
Ushuliyyin, bahwa syari’at Nabi sebelumnya ialah syari’atnya Nabi Ibrahim a.s.
karena Rasulullah lebih banyak menyelidiki syari’at Ibrahim a.s., terutama
sebelum beliau diangkat oleh Allah SWT selaku Nabi dan Rasul. Tetapi hal
keadaan ini bukan berarti Nabi kita termasuk umat Nabi Ibrahim, sebab kelahiran
Nabi Muhammad adalah sesudah zaman fatrah yang begitu panjang.
Sumber hukum yang keempat bagi zaman Nabi
ialah ‘urf, atau dengan kata lain adat istiadat bangsa Arab, dimana
akal dapat menerimanya dengan baik dan kemanusiaan yang adil dan beradab turut
juga menilainya. Sudah barang pasti sumber hukum ini berlaku selama tidak
bertentangan dengan wahyu Al-Qur’an. Misalnya hukum yang masih berlaku dalam
lapangan jual beli dengan istilah aqad-salam, yakni, jual beli
dengan gambaran yang jelas dan tunai, tetapi barangnya belum ada. Juga
hukum mudhaarabah, yakni seorang memberikan modal kepada orang lain
dengan maksud ada ketentuan laba antara keduanya berdasarkan syarat-syarat yang
diatur oleh kedua belah pihak.
Dari sumber hukum inilah para ilmuwan fiqh membuat qaidah-qaidah sebagai
berikut:
اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ
شَرْطًا. اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْعًا. الثَّابِتُ بِالعُرْفِ
كَالثَّابِتِ بِالنَّصِ العَادَةِ مُحَكَّمَة.
Hal yang di urufkan secara urf itu seperti hal
yang disyaratkan secara syarat. Hal yang di urufkan secara urf’ sebagaimana hal
yang disyaratkan scara syari’at. Ketetapan dengan uruf sepertimana
ketetapan dengan kebiasaan Nas yang dihukumkan.
Sumber hukum ini berlakunya selama tidak
bertentangan dengan syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak. ‘Urf atau ‘adah ini
di samping telah berjalan sebelumnya dan juga masih berlaku pada ketika kasus sesuatu
masalah itu terjadi. Dan yang paling penting adalah tidak bertentangan dengan
Kitab Suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Selama ‘urf atau adat
istiadat itu tidak ditunjang secara nyata oleh Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, maka
hukum sesuatu berdasarkan sumber hukum ini bisa berubah, apabila datang ‘urf atau
adat istiadat yang lain.
Atas sumber hukum inilah ditempatkan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 199 :
“Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.”
Juga dalam surah Al-Baqarah ayat
233:
“Dan kewajiban ayah memberi Makan
dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Bahkan Nabi sendiri telah
bersabda;
مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
Ijtihad Rasulullah SAW
Berbicara mengenai ijtihad Nabi sendiri sudah
termasuk dalam pemahaman firman Allah mengenai anjuran musyawarah; dalam surat
Ali Imran, ayat 159 dan surat Asy-Syura, ayat 38:
“Dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu “
“Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
(الشورى: ٣٨)
Sedangkan musyawarah adalah pada
lapangan yang bersifat ijtihad, bukan pada sesuatu yang hukumnya berdasarkan
wahyu. Hal keadaan ini tidak ada musyawarah padanya. Dan bukankah kita semua
telah memaklumi mengenai keterangan Nabi, bahwa mujtahid sebagai penggali hukum
apabila betul mendapat dua pahala dan apabila salah mendapat satu pahala.
الحاكم إذا اجتهد فأصاب فله أجران وإذا
أخطأ فله أجر واحد (الحديث كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم).
Dan dalam ucapan Nabi ini secara umum termasuk pula diri beliau, alaihisshalaatu wassalam.
Semoga para pembaca dirahmati oleh Allah SWT, amin yarabbil'alamin
Sumber :
"Buku Penggalian Hukum Islam dari
Masa ke Masa"
Abuya Prof. Dr Tgk. H Muhibbuddin
Waly
Apakah Al-Qur'an dan Hadist menganjurkan Ijtihad (Menggali Hukum Islam) ?
Reviewed by Unknown
on
8:02 PM
Rating:

No comments: