Top Ad unit 728 × 90

News

random

Sebesar Apakah Keseponan Anda Pada Allah ?

alwaliyah | Menurut akhlak Hakikat Tauhid dan Tasawuf, bahwasanya pokok-pokok dari adab kesopanan hamba terhadap Tuhannya, Allah s.w.t. tidak lepas dari tiga macam: 

Pertama: Mendirikan dan menjalankan segala perintah dan anjuran Allah s.w.t.
Kedua: Mendirikan dan menjalankan pula sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya.
Ketiga: Berbaik-baik dengan sekalian makhluk dalam arti yang luas, sejalan dengan keridhaan Allah, akhlak dan sopan santun.

Inilah yang dimaksud dengan Hadis Nabi riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi sebagai berikut:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ .

“Bertakwalah anda kepada Allah di mana saja anda berada dan anda ikutkan kejahatan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapuskan kejahatan dan berakhlaklah anda terhadap manusia dengan akhlak yang bagus.”



Inilah pokok-pokok adab dan akhlak terhadap Allah pada khususnya dan sekalian makhluk pada umumnya. Dan dari sinilah terbinanya akhlak yang murni dan sempurna sesuai dengan tinggi rendahnya taqwa seseorang terhadap Allah s.w.t. Kemudian timbul pertanyaan dalam hati tentang bagaimanakah puncak adab akhlak dan sopan hamba Allah terhadap Tuhannya, untuk ini maka yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menjawabnya dalam rumusan Kalam Hikmah beliau yang ke-129 sebagai berikut:

 مَا طَلَبَ لَكَ شَيْءٌ مِثْلُ الْاِضْطِرَار ، وَلَا أَسْرَعَ بِالْمَوَاهِبِ إِلَيْكَ مِثْلُ الذِّلَّةِ وَالْاِفْتِقَار

“Tidaklah menuntut kepada anda sesuatu seumpama sehabis kerendahan dan kefakiran dan tidaklah sesuatu yang mempercepat pemberian-pemberian Allah kepada anda seumpama kehinaan dan kefakiran.”

Kalam Hikmah ini sepintas lalu berat memahaminya dan sulit untuk difahami jika kita belum mengetahui tafsir dan tujuan daripada-nya. Untuk itu maka perlu kita utarakan kejelasan Kalam Hikmah diatas sebagai berikut:

Keperluan si hamba kepada Allah s.w.t. tidak terbatas, bahkan sekalian gerak dan tindak dalam hidupnya tidak terlepas dari kehendak Allah s.w.t. dan ketentuanNya. Karena itu maka keperluan hamba dalam segala-galanya itu apabila diimani oleh si hamba serta dirasakan dengan perasaannya yang murni selaku hamba Allah, berarti si hamba telah menyadari, menginsafi dan merasakan hakikat sifat kehambaan-nya terhadap Allah s.w.t. Keimanan dan perasaan yang demikian itu adalah keadaan yang be-gitu mulia dan besar dari sisi Allah s.w.t. dan yang demikian itu adalah keadaan yang dikehendaki Allah bagi mendapat kemuliaan di sisi-Nya.

Sifat kehambaan atau dengan istilah Tasawuf ialah “Al-‘ubudiyah” artinya ialah:

اَلرُّجُوْعُ فِي كُلِّ شَيْءٍ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى حَدِّ الْاِضْطِرَار 

“Mengembalikan dalam segala sesuatu kepada Allah s.w.t. atas jalan keadaan sehabis-habis kerendahan si hamba terhadapNya.” Maksudnya, segala sesuatu baik yang telah terjadi atau yang akan terjadi, semuanya itu adalah dari Allah s.w.t. Allah yang menentukannya, yang menghendakinya dan yang menciptakannya. Jangan ada terbayang pada hati si hamba bahwasanya sesuatu kejadian yang terjadi pada dirinya adalah dari kekuatan si hamba dan dari daya upayanya. Tidak! Jangan ada pula terbayang oleh si hamba bahwasa-nya pada dirinya ada sebab-sebab di mana dia berpegang dan ber-sandar atas sebab-sebab itu, semuanya itu adalah dari Allah s.w.t. dan sebab-sebab hakikinya juga adalah dariNya. Selain sebab-sebab kebiasaan lahiriah yang semuanya itu tidak berbekas kalau tidak ada izin Allah s.w.t.

Oleh karena itu hendaklah perasaan kita dalam status ini sebagai orang yang karam dalam laut yang penuh dengan gelombang dan angin taufan. Sehingga tidak ada perasaan dalam hatinya bahwa dia dapat menyelamatkan dirinya selain hanya berserah semata-mata kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah s.w.t. Semua perasaan selain daripada perasaan yang disebutkan tadi tak ada gunanya. Bahkan tidak ada ingatan sama sekali selain hanya minta tolong dan minta bantu kepada hanya yang dapat menolong dan membantu. Atau ibarat orang sesat di padang pasir atau di hutan rimba raya di mana orang itu telah pusing mencari jalan keluar daripada perasaan yang tadi yang tidak ada gunanya. Bahkan tidak ada ingatan sama sekali selain ingatannya hanya minta tolong dan minta bantu kepada yang dapat menolong dan membantu. Atau ibarat orang sesat di padang pasir atau di rimba raya di mana orang itu tiada harapan lain selain hanya mengharap kepada yang Maha Esa, di mana Dialah saja yang dapat membantu dan menolong.

Apabila perasaan yang demikian itu telah dirasakan oleh kita dalam segala gerak-gerik hidup di dunia ini terhadap Allah s.w.t. sehingga perasaan itu telah menjadi kemantapan iman kita, bahwa kehambaan kita sama sekali ditentukan hal keadaannya oleh Allah s.w.t. Dialah yang Maha Kuasa dan Dialah yang Maha Berkehendak, maka perasaan dan iman sedemikian rupa itulah yang dikehendaki oleh Allah pada hambaNya. Dan dengan perasaan dan keimanan yang demikian itu kita memohon kepada Allah sesuatu yang kita mohon-kan, maka Allah akan memperkenankan doa kita, karena kita telah mempunyai kunci rahasia untuk kemustajaban doa itu dari Allah s.w.t. Atau dengan kata lain, itulah kunci rahasia Allah s.w.t. mem-perkenankan doa hambaNya.

Inilah makna firman Allah s.w.t. yang termaktub di dalam Al-Quran yang mulia:

اَمَّنۡ یُّجِیۡبُ الۡمُضۡطَرَّ اِذَا دَعَاہُ وَ یَکۡشِفُ السُّوۡٓءَ وَ یَجۡعَلُکُمۡ  خُلَفَآءَ الۡاَرۡضِ ؕ ءَ اِلٰہٌ مَّعَ اللّٰہِ ؕ قَلِیۡلًا مَّا تَذَکَّرُوۡنَ .                                
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya dan yang menghilangkan kesu-sahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu nengingati(nya).” (An-Naml: 62)

Apabila kita menghendaki supaya Allah s.w.t. membantu kita, menolong kita dan memperkenankan sesuatu yang kita mohonkan kepadaNya, maka tidak ada jalan selain kita harus merendahkan diri kepadaNya. Merendahkan diri kepada Allah s.w.t. adalah wajar sebagai hamba terhadap Tuhannya. Merendahkan diri kepada Allah, artinya kita harus mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah pada permulaannya, baik yang keadaannya bersifat mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Hakikat mengembalikan sesuatu kepada Allah, artinya bathin kita mengakui dan merasakan bahwa kita itu karam tenggelam dalam laut kehinaan dan kemiskinan apabila berhadapan dengan kemegahan, kebesaran dan kemuliaan serta kekayaan Allah s.w.t. Pada kita ini tak ada apa-apa, tetapi dari Dialah segala-galanya. Apabila pengakuan dan perasaan yang demikian telah terhunjam dalam hati kita, maka segala perbuatan yang kita kerjakan dan larangan Allah yang kita tinggalkan direstui olehNya dan dilimpahi olehNya, sehingga keberkahan itu terus berada dalam hidup dan kehidupan kita.

Dan itulah rahasianya Allah s.w.t. membantu kaum muslimin dalam peperangan Badar adalah karena ummat Islam dalam keadaan terdesak sehingga tidak ada jalan lain selain mengharapkan bantuan Allah dengan segala kerendahan, kemanusiaan sebagai makhlukNya yairg hina terhadap Allah. Karena itulah maka Allah telah mengungkapkan hal keadaan itu dalam kitab suci Al-Quran:

وَلَقَدۡ نَصَرَکُمُ اللّٰہُ بِبَدۡرٍ وَّاَنۡتُمۡ اَذِلَّۃٌ ۚ فَاتَّقُوا اللّٰہَ  لَعَلَّکُمۡ  تَشۡکُرُوۡنَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu (ketika itu) adalah orang-orang yang lemah. Karena itu bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya"  (Ali Imran: 123)

Oleh sebab itulah maka Rasulullah s.a.w. telah bersabda supaya kita harus meresapi bahwa kita manusia ini adalah lemah, sedangkan yang Maha Kuasa dan Maha Kaya dan Maha Menentukan adalah Allah, Tuhan yang Maha Esa dan maha Kuasa. Sabda Nabi itu ialah:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّة
“Laa haula walaa quwwata illaa billaah, merupakan suatu per- bendaharaan dari perbendaharaan-perbendaharaan syurga.”

Demikianlah sabda Nabi s.a.w. Ini adalah suatu petunjuk bagi kita supaya kita jangan sombong, supaya jangan ada perasaan pada diri kita bahwa seolah-olah kita pun menentukan dan kita pun dapat
berbuat sesuatu di luar ketentuan Allah dan izinNya. Tidak! Kita ini adalah hambaNya, tidak berhasil segala maksud dan cita-cita kita bila tidak diizinkan olehNya.

Oleh sebab itu kita selaku hamba Allah harus dapat merasakan dengan perasaan iman dan ikhlas, bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan hendaklah kita sadari dan kita insafi bahwa semuanya itu tidak terlepas dari sifat kehambaan kita. Karena itu, kita memerlukan bantuan Allah dan pertolonganNya dalam segala sesuatu.

Kesimpulan:

Sekedar iman di dalam hati, bahwa kita mempunyai Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah s.w.t. belumlah cukup, apabila tidak sejalan dengan perasaan kehambaan dalam jasmaniah dan rohaniah kita pada segala tindak tanduk yang kita kerjakan di dalam dunia ini. Dan apabila perasaan ini telah mantap maka tidak ada pekerjaan kita dan perbuatan kita yang terkeluar dari rupa ibadat. Kesemuanya merupakan ibadat kita. Dengan demikian maka kita akan mendapatkan keridhaanNya dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda daripadaNya. Maka selamatlah kita dunia akhirat dan memperoleh kebahagiaan yang hakiki di hari kemudian.

Insya Allah!

Sumber : 
"Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf"
Abuya Syeikh Prof.Dr. Tgk. Muhibbuddin Waly
Sebesar Apakah Keseponan Anda Pada Allah ? Reviewed by Unknown on 6:34 PM Rating: 5

No comments:

© 2018, Al Waliyah. All right reserved.
Powered By Blogger, Touched by Iqbal Mauludy

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.