Bagaimanakah Cara Mendapati Kehidupan Yang Diridhai Oleh Allah ?
Al-Waliyah | Apabila kalam
hikmah yang lalu menegaskan pada kita, bahwa dunia ini tidak sunyi dari
keruhan-keruhan, tidak sunyi dari segala sesuatu dimana pada umumnya tidak
sejalan dengan kehendak kita, kemauan dan keinginan kita, tetapi kita selaku
makhluk Allah yang dijadikan olehNya mempunyai akal dan fikiran, mempunyai hati
dan perasaan dan juga mempunyai cita-cita dan maksud-maksud suci yang dipandang
baik oleh akal dan perasaan kita.
Bagaimana
kita akan sampai kepada tujuan dan cita-cita, tercapai dengan segera, dimana
dengannya kita merasa bahagia; untuk mengetahui jalannya, yang mulia Al-Imam
Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-25
sebagai berikut :
مَاتَوَ قَّفَ مَطْلَبُ أَنْتَ طَالِبُهُ بِرَبِّكَ, وَلَا تَيَسَّرَ
مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِنَفْسِكَ.
“Tidak akan terhenti
sesuatu jalan tujuan (apabila) anda menuntutnya(menghasilkannya) dengan Tuhan
anda. Dan tidak akan mudah sesuatu Tujuan (jika) anda mencarinya dengan diri
anda.”
Kalam
Hikmah ini mengandung makna-makna sebagai berikut :
I.
Segala cita-cita yang tercita dalam hati, maksudnya cita-cita yang
baik, tidak akan sampai tanpa ada usaha. Berusaha untuk menghasilkan cita-cita
itu apabila kita ingin supaya berhasil dengan mudah hendaklah disamping usaha
itu kita harus berpegang kepada Allah s.w.t. Yakni hati kita tidak lupa
kepadaNya, mudah-mudahan Dia menginzinkan tercapainya maksud dan tujuan kita
itu.
Tetapi
apabila kita mencapai cita-cita itu dengan semata-mata berpegang kepada
kepandaian kita, kesungguhan dan ketekunan kita, yakni hati kita lupa dan lalai
kepada Allah s.w.t maka yakinlah, bahwa akan timbul disana-sini
kesulitan-kesulitan, kemacetan-kemacetan dan kesukaran-kesukaran. Dalam hal ini
sama saja, tidak ada perbedaaan tentang maksud dan cita-cita, apakah sifatnya
ke agamaan atau keduniawian yang membawa kepada kebaikan.
II.
Arti mengejar cita-cita dengan Allah Ta’ala ialah, menyandarkan
diri kita kepadanNya, tegasnya menyerahkan segala sesuatunya kepada Dia demi
untuk mudah mencapai maksud dan tujuan. Atau dengan kata lain, demi
terlaksananya apa yang dicita-citakan. Untuk itu tak dapat tidak harus ada pada
kita 3 syarat :
1.
(Attafwiidhu fil muraadi) اَلتَّفْوِيْضُ فِيْ الْمُرَادَ
Yakni
menyerahkan kepada Allah maksud dan tujuan atau cita-cita yang kita tekadkan.
Serahkanlah kepada Allah maksud dan tujuan itu, apakah baik disisi Allah atau
tidak. Jika baik padaNya semoga disampaikan olehNya dan jika tidak maka tidak.
Hendaklah kita lepaskan diri kita dan hati kita dalam menentukan pilihan dan
kita serahkan kepada Allah, meskipun kita berusaha untuk mencapai tujuan yang
kita maksudkan.
2. (Attawakkulu fit
tahshiili) اَلتَّوَكُّلُ
فِيْ التَّحْصِيْلِ
Tawakkal
dan menyerah kepada Allah bagaimana menghasilkan maksud dan cita-cita. Meskipun
kita berusaha dengan tenaga dan jalan-jalan yang kita hadapi, tetapi hati kita
menyerah kepada Allah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita tentang
bagaimana sebaiknya mencapai maksud dan tujuan kita itu. Sebab kita tidak tahu,
mungkin jalan-jalan yang sedang kita hadapi itu tidak membawa hasil untuk
mencapai dan tujuan dan cita-cita. Kegagalan adalah suatu kerugian, karena
kegagalan tidak kita kehendaki. Berhasil kepada tujuan, itulah yang kita
maksudkan. Tetapi pada hakikatnya kita masih belum tahu jalan apakah yang
sebaik-baiknya untuk kita mencapai tujuan dan cita-cita itu. Karena itu kita
harus bertawakkal kepada Allah, supaya Allah memberi petunjuk kepada kita jalan
yang diridhaiNya demi untuk sampai kita kepada tujuan dan cita-cita. Dalan hal
ini teringat kepada wasiat Luqman Al-Hakim kepada puteranya.
Luqman
berkata :
وَمِنَ
الْاِيْمَانِ بِاللّٰهِ عَزَّوَجَلَّ : اَلتَّوَكُّلُ عَلَى اللّٰهِ,
فَاِنَّ التَّوَكُّلَ عَلَى اللّٰهِ
يُحِبُّ الْعَبْدَ, وَاِنَّ التَّفْوِيْضَ أِلَى اللّٰهِ
مِنْ هَدْيِ اللّٰهِ,وَبِهَدْيِ اللّٰهِ يُوَافِقُ الْعَبْدُرِضْوَانَ اللّٰهِ,
وَبِمُوَا فَقَةِرِضْوَانِ اللّٰهِ يَسْتَوْجِبُ الْعَبْدُ كَرَامَةَاللّٰهِ.
"Dan dari
keimanan kepada Allah Azzawajalla adanya tawakkal kepada Allah, karena
sesungguhnya bertawakkal kepada Allah
membawa cinta Allah pada hambaNya. Dan sesungguhnya menyerahkan diri kepada
Allah adalah datang dari petunjukNya. Dan dengan petunjuk Allah itu bersesuaian
(sihamba) dengan keridhaan Allah Ta’ala berati membawa si hamba itu dengan
pasti kepada kamuliaan yang dikurniakan Allah.”
Wasiat Luqman ini menerangkan kepada kita
dengan jelas, bahwa pokok utama : Allah s.w.t mencintai seorang hambaNya
apabila sihamba itu bertawakkal kepadaNya. Meneyerah diri kepadaNya berati
hidayat dan petunjuk dari padaNya. Apabila Allah s.w.t telah memberikan
petunjuk pada kita, maka kita akan tawakkal kepadaNya. Kalaulah Allah Ta’ala
mencintai kita, berati Dia telah meridhai kita, dan keridhaan Allah Ta’ala
adalah pangkal utama pada hamba untuk mencapai kemuliaan.
3. (Al-Istiqqaamatu
fit-tawajjuhi)أَلْاِسْتِقَا
مَةُ فِيْ التَّوَ جُّهِ
Betul
dan tetap dengan kontinyu pada menghadap hati kepada Allah dalam setiap
gerak-gerik kita, tindak-tanduk kita dan apapun saja yang kita perbuat,
lebih-lebih dalam mengerjakan amal ibadat. Lidah, hati dan perbuatan jasmaniah
kita adalah sejalan. Tegasnya ingat kepada Allah disamping hati kita mengikuti
apa yang sedang kita baca, serta perbuatan yang sedang kita kerjakan.
Apabila
3 syarat telah ada pada kita, maka pastilah maksud kita, tujuan kita dan
cita-cita kita diperhatikan Allah s.w.t. Apakah tujuan dan cita-cita kita itu
berhasil atau tidak. Karena pada hakikatnya bukanlah maksud kita itu untuk
memperoleh tujuan dan dan cita-cita, tetapi pada hakikatnya untuk meredakan
kepanasan gerak berhajat pada sesuatu. Kepanasan gerak itu atau hajat yang kuat
pada sesuatu itu akan hilang disamping tawakkal kepada Allah s.w.t. Sebab akhir
daripada taawakkal itu adalah ridha hati kita pada apa yang ditakdirkan Allah
atas kita, apakah itu positif atau negatife. Atau dengan kata lain, apakah
sifatnya wujud atau ada, ataukah sifatnya ‘adam atau tidak ada.
Apabila aqidah dan
kepercayaan kita sudah merasakan demikian itu, maka hilanglah kegelisahan dan
kesusahan, keraguan dan kejengkelan, jika mkasud yang kita tuju tidak
disampaikan oleh Allah s.w.t. Sebab tidak disampaikan Allah sesuatu maksud yang
kita hendaki, berati cita-cita kita sudah samp[ai. yakni kita sudah mengetahui,
bahwa usaha kita selama ini belum diizinkan Allah s.w.t. Dan kita diperbolehkan
lagi menurut hukum untuk berusaha kepada cita-cita itu.
III.
Mengejar sesuatu maksud, tujuan dan cita-cita, jangan sekali-kali
kita berpegang kepada kekuatan kita dan daya kemampuan kita. Apabila kita
berpegang seperti in, maka akan menimbulkan 3 kejadian pada diri kita :
1.
Kita telah berkeinginan untuk tercapainya cita-cita, sedangkan
Allah kita lupakan.
2. Perasaan kita merasakan bahwa
usaha-usaha kitalah yang menyampaikan pada sesuatu maksud dan tujuan. Ini pun
seabagai tanda juga bahwa kita tidak bertawakkal kepada Allah s.w.t
3. Tidak ada taqwa dan istiqamah
dalam berjuang untuk mencapai cita-cita adalah sebagai tanda juga bahwa kita
mengemukakan dan mendahulukan nafsu dan keinginann kita dari pada berserah diri
kepada Allah s.w.t.
Seandainya
kita sampai juga kepada yang kita cita-citakan, tetapi kita tidak tawakkal,
taqwa dan istiqomah kepada Allah s.w.t, maka cita-cita yang kita peroleh itu
juga tidak akan memberi manfaat pada kita. Karena itu kita banyak melihat orang
yang bercita-cita menjadi kaya raya, maka setelah kekayaan itu sudah
diperolehnya, dia tidak mendapatkan hasil atau manfaat dari kekayaan itu.
Misalnya karena badannya selalu sakit-sakit, tidak boleh makan nasi dan
lain-lain. Maka tentu tidak ada faedah yang besar buat dirinya dari kekayaannya
itu selain hanya sekedar melihat dan memiliki kekayaan itu semata-mata.
IV.
Kalaulah demikian maka tepatlah seperti apa yang telah dikatakan
oleh seorang ahli Tasawuf bernama Amir bin Abdullah. Beliau berkata : “
setelah aku membaca tiga ayat dala Kitab Suci Al-Qur’an (membaca dengan faham
yang dalam dan pengertiannya yang hakiki), maka dengan sebab arti yang
terpenting dari tiga ayat itu aku mendapat pertolongan pada memecahkan problema-problema
yang aku hadapi.” Tiga ayat itu ialah :
(1) Firman Allah Ta’ala (Surat
Yunus : 108)
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ
وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari
Ayat ini aku berkata kepada diriku, demikian Amin bin Abdullah, jika Tuhan
sudah menghendaki memelaratkan aku, maka tidak ada seorang pun (dari Makhluk-makhlukNya)
yang dapat menyelamatkan daku. Dan jika Allah memberikan karuniaNya kepadaku,
maka tiada pula orang lain yang dapat menghambatku (untuk tidak menerimanya).
(2) Firman Allah ta’ala (Surat
Al-Baqarah : 152)
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
Karena
Ayat ini aku tidak lupa mengingat Allah dan hilanglah kesukaran-kesukaran,
sebab Allah tidak lupa mengingat hambaNya yang selalu ingat kepadaNya.
(3) Firman Allah Ta’ala (Surat
Hud : 6)
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا
عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي
كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Ayat ini
mendorong aku untuk bersumpah kepada Alah s.w.t bahwa semenjak aku membaca Ayat
ini, aku tidak merasa susah lagi dari rezkiku sebab telah dijamin oleh Allah
s.w.t. Dengan demikian aku merasa lega karenanya.
Kita
teringat kepada seorang laki-laki yang datang setiap pagi meminta-minta kerumah
Sayyidina Umar bin Al-Khatthab r.a. Setelah sekian kalinya ia meminta kepada
Umar, maka suatu pagi ia datang lagi karena maksud meminta. Umar berkata
kepadanya : “Saudara! Apakah anda mengharapkan sesuatu itu kepada Umar atau
kepada Allah ? pergilah anda dari sini dan pelajarilah Al-Qur’an, sebab
Al-Qur’an dapat mengayakan anda (mencukupi anda) tanpa datang mengemis setiap
pagi kepintu-pintu rumah orang.” Laki-laki itu pun pergi dan tidak
muncul-muncul lagi dalam waktu yang lama. Sehingga Umar merasa kehilangan
karenannya. Umar bertanya kesana-sini tentang laki-laki itu, maka ditunjukkan
oranglah disuatu tempat. Umar pergi kesana dan menemukan laki-laki itu sedang
tekun mengerjakan ibadatnya dan menjauhkan dirinya dari manusia. Sayyidina Umar
berkata kepadanya : “Sesungguhnya aku merasa kehilangan saudara, sehingga
selama ini aku rindu untuk dapat bertemu dengan anda, kenapakah anda
meninggalkan kami dan tidak muncul-muncul lagi ?”
Laki-laki
itu menjawab : “ Bahwasanya aku setalh membaca Al-Qur’an rupanya dengan
itulah aku tidak memerlukan Umar dan keluarganya (dalam mengharapkan sesuatu).”
Lalu umar berkata kepadanya : “mudah-mudahan anda selalu diRahmati Allah
s.w.t maka apakah yang anda dapati dalam Al-Qur’an itu ?” dan laki-laki itu menjawab : “ Saya telah
mendapatkan didalam kitab suci Al-Qur’an firman Allah s.w.t dalam surat Adz-Dzaariyat, Ayat-22 :
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا
تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab)
rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.”
Karena
ayat inilah aku bertanya kepada diriku sendiri : Rezekiku dilangit, sedangkan
aku mencarinya di dunia.”
Mendengar itu, Umar menangis dan apa yang dikatakan laki-laki itu merupakan
pelajaran baginya. Setelah kejadian itu, maka Umar sering datang pada laki-laki
itu mendengarkan pendapat yang bermanfaat dari padanya.
Dari kejadian ini, maka tepat dan benarlah
wasiat Nabi Muhammad s.a.w kepada Ibnu Abbas :
“Apabila anda bermohon, maka bermohonlah kepada
Allah. Dan apabila anda minta pertolongan, maka mintaklah kepada Allah. Dan
ketahuilah bahwa segala makhluk seandainya besusah-payah mereka untuk membantu
anda dengan sesuatu yang tidak akan sanggup atas demikian. Dan seandainya
jikalau sekalian makhluk ingin memudharatkan anda dengan sesuatu dimana tidak
dituliskan Allah buat anda, pasti juga mereka tidak akan sanggup. Segala buku
telah terlipat dan segala pena telah kering.”
Demikian mendalamnya wasiat Nabi kita Muhammad s.a.w
kepada Ibnu Abbas. Karena itu maka teranglah didalam menghadapi sesuatu itu
dimana kita jangan lupa kepada Allah s.w.t moga-moga maksud kita yang baik
disampaikan OlehNya.
Kesimpulan :
1.
Apabila kita bercita-cita tentang sesuatu
dan berjuang untuk mencapai cita-cita itu, maka berusahalah dengan tekun dan
sabar dengan tidak melupakan Allah s.w.t. Dengan demikian Insyaallah cita-cita
kita akan disampaikan olehnNya. Adakala Tuhan memperkenakan apa yang kita
cita-citakan, maka berbahagialah kita. Dan adakala Allah tidak mengizinkan
sesuatu yang kita cita-citakan itu karena tidak baik menurut Allah s.w.t, maka
tidak disampaikannya cita-cita kita. Meskipun demikian berati pada hakikatnya
Allah telah memperkenankan juga maksud dan tujuan kita. Sebab getaran kehendak
dalam menghadapi sesuatu itu telah diridhakan Allah, oleh karena sesuatu yang
kita maksudkan itu tidak baik menurutnya.
2.
Jangan sekali-kali kita berpegangan dengan
kepandaian kita, kepintaran dan daya kita, sebab semuanya itu adalah dari Allah
s.w.t. Apabila semuanya ini telah telah tersangkut dalam hati kita, yakni kita
tidak menyerahkan segala sesuatu itu kepada Allah, maka timbullah kemacetan
disana-sini dan sulitlah kita untuk mencapai cita-cita itu. Kalaupun
disampaikan juga oleh Allah s.w.t, maka keberkatannya tidak ada. Badan kita
letih pada menghasilkannya tetapi manfaatnya sangat sedikit ataupun tidak ada
sama sekali. Oleh karena itu, jangan lupa berdoa kepada Allah s.w.t seperti
yang tersebut dalam firmanNya Al-Qur’an : (Al-Isra’ : 80)
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
"Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong."
Bacalah
doa ini dalam menghadapi sesuatu demi berhasilnya maksud dan cita-cita kita
disampaikan Allah s.w.t dan mudah-mudahan pula ajaran Kalam Hikmah ini akan
menjadi Kompas dan Pedoman kita dalam hidup dan kehidupan kita diDunia ini.
Sumber :
"Kitab Al-Hikam,Kalam Hikmah Yang ke-25"
(Abuya Prof.Dr.Tgk Chiek, K.H Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy)
Note :
Contak Pemesan Buku
Karangan Abuya Prof.Dr.Tgk Chiek, K.H Muhibbuddin Waly Al-Khalidy
Tgk.Sony 082168220205 (whatshap)
Bagaimanakah Cara Mendapati Kehidupan Yang Diridhai Oleh Allah ?
Reviewed by Unknown
on
7:07 PM
Rating:

No comments: